Kampung kecil Dusun Lubuk Siang berdirilah sebuah masjid dengan kotak amal yang konon *“punya kemauan sendiri”.* Begitu kata Pak Imam padahal sebenarnya, beliau hanya heran kenapa isinya sering menipis setiap pekan. Ternyata yang punya kemauan itu bukan kotaknya tapi Leman Jais.
Suatu sore, Leman melihat Dani, anak yatim yang ke sekolah memakai sandal jepit yang solnya tinggal semangat hidup. Hatinya langsung meleleh seperti es lilin di atas knalpot. Tanpa pikir panjang, ia mengambil sebagian uang kotak amal untuk membelikan Dani sepatu baru. Niatnya mulia, tapi ada masalah: Leman lupa laporan.
Malam harinya, selepas Magrib, warga berkumpul menatap kotak amal seperti sedang memeriksa tersangka kasus korupsi.
“Siapo yang ngambik duit kotak amal ni?” tanya Pak RT dengan gaya detektif kampung. Leman mengangkat tangan pelan. “Sayo Pak… buek belikan sepatu Dani.”
Hening. Lima detik. Enam detik. Lalu pecahlah suara Bu Jumati—yang galaknya terkenal, tapi hatinya selembut roti sobek.
“Kalu cak itu, tambahkan untuk tasnyo jugo!” serunya lantang.
Seketika rapat berubah jadi “Operasi Sayang Dani”. Warga urunan ada yang nyumbang buku, ada yang nyumbang seragam, ada juga yang cuma nyumbang pensil satu tapi senyumnya seluas sawah dua hektare.
Ketika Dani datang, ia tertegun melihat tumpukan hadiah sekolah.
“Ini untukmu, Nak,” kata Pak Imam sambil menepuk bahunya.
Dani menunduk, mata berkaca-kaca. Leman Jais ikut terharu, padahal sebelumnya ia sempat siap mental dimarahi setengah kampung.
Sejak hari itu, kotak amal masjid bukan lagi disebut “ajaib” karena isinya hilang, tapi karena bisa menyatukan hati warga. Dan Leman? Ia diangkat jadi Menteri Keuangan Masjid dengan satu syarat penting:
Wajib lapor sebelum belanja kecuali untuk beli sandal jepit baru buat dirinya sendiri.
Perjalanan Leman Jais Mencari Cinta (02)_*
Catatan : Riswan














