Alaku
Alaku

Helmi Hasan Dalam Ancaman Politik Algoritma

  • Share

Kabar pemeriksaan Helmi Hasan oleh pihak kejaksaan langsung menyeruak. Wajar saja, nama besar seorang kepala daerah dua periode dan kini menjabat Gubernur Bengkulu bukan perkara sepele. Namun yang lebih menarik untuk ditilik bukan hanya substansi kedatanganya ke Kejagung, melainkan bagaimana informasi ini demikian cepat menjadi komoditas politik dan umpan empuk bagi pemburu algoritma di ruang digital. Tak penting Helmi Hasan datang sebagai apa, saksi, tersangka atau sekedar dimintakan keterangan.

Publik berhak tahu. Itu prinsip utama dalam demokrasi. Namun dalam era digital ini, kecepatan menyebarkan informasi seringkali mengalahkan kedalaman, akurasi, presisi apalagi analisa. Tak butuh waktu lama, kabar Helmi Hasan “diperiksa jaksa” langsung diaduk menjadi berbagai narasi. Ada yang mengangkatnya sebagai bagian dari penegakan hukum yang sedang berlangsung, ada pula yang memelintirnya untuk kepentingan politik praktis. Lebih dari itu, ada pula yang sekadar mengejar klik dan engagement semata.

Tak bisa dimungkiri, residu politik pasca-Pilkada 2024 di Bengkulu berlahan terus melalap ibarat api dalam sekam. Figur Helmi Hasan, yang menjadi pemenang mengalahkan petahana jelas menjadi salah satu magnet politik utama. Maka, setiap informasi miring, apalagi yang menyangkut hukum, tentu jadi bahan empuk untuk digoreng oleh mantan dan bakalan lawan politik. Dalam situasi seperti ini, informasi hukum tak lagi steril. Ia dibumbui opini, dibalut insinuasi, dan dihidangkan dalam bentuk konten provokatif demi memenuhi syahwat politik.

Sementara platform digital turut pula memperkeruh suasana. Bukan rahasia lagi, algoritma media sosial mendorong konten yang memicu emosi, kontroversi, dan konflik. Maka, wajar jika banyak konten viral bukan soal substansi, tapi sensasi. Tak heran jika informasi seputar pemeriksaan Helmi Hasan lebih banyak dikemas dalam bentuk clickbait, potongan video tanpa konteks, dan opini liar yang jauh dari fakta. Ruang publik digital pun berubah dari tempat diskusi menjadi arena pembantaian karakter. Fantasinya demikian rupa, seakan-akan Helmi Hasan sudah tersangka, didakwa, terpidana dan digantikan.

Kita tentu tak bisa melarang publik untuk membicarakan tokoh publik. Namun ada garis batas yang mesti dijaga antara kritik dan fitnah, antara informasi dan manipulasi, antara penegakan hukum dan permainan politik. Dalam konteks ini, peran media, baik konvensional maupun digital, menjadi sangat penting. Media harus mampu menyajikan fakta, menjaga integritas, dan tidak ikut dalam arus polarisasi dan monetisasi berita. Media massa mengemban amanah untuk istiqomah menjaga marawah di tengah disrupsi informasi yang kian menganga.

Bagi publik, kehati-hatian dalam menyerap informasi dan kedewasaan dalam mencerna kabar menjadi penting. Jangan biarkan algoritma, buzzer dan kliper menggiring opini kita. Demokrasi tak bisa dibangun di atas puing-puing karakter orang lain. Jangan campuradukkan proses hukum dengan motif politik dan sensasi digital. Kita butuh keadilan, bukan kegaduhan. Kita butuh informasi, bukan manipulasi. Dan kita butuh pemimpin yang bisa dipercaya, bukan sekadar dijatuhkan.

Kedatangan Helmi Hasan ke Kejagung RI murni untuk memberi keterangan terkait perkara korupsi Mega Mall dan PTM yang kini ditangani Kejati Bengkulu. Keterangannya dibutuhkan penyidik karena Helmi Hasan adalah mantan Wali Kota Bengkulu 2 periode. Dia bukan saksi bukan pula tersangka, apalagi difantasikan sebagai terpidana, dipenjara dan ditanggalkan dari jabatannya. Helmi Hasan datang sebagai warga negara untuk mendorong penegakan hukum. Kehadiranya untuk memudahkan bukan menyulitkan, agar perkara yang kini ditangani kejaksaan terang-benderang.

[Sjam Kamara]

Cloud Hosting Indonesia
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page